23 Oktober 2009

Apresiasi Sayap-sayap Patah (Gibran)

Sayap - sayap patah Gibran dapat dikatakan sebagai salah satu karya termashyur, yang pernah dihasilkan beliau. Sayap - sayap patah pun kemudian menjelma menjadi suatu karya yang bernilai universal. Meskipun terkadang dan masih banyak dianggap sebagai catatan cinta murni. Itu tak lain daripada penyingkiran sari pati yang murni dalam sayap - sayap patah. Dan ironisnya lagi, ketika banyak terjadi perbincangan ringan seputar Gibran terutama dikalangan anak muda, Gibran diposisikan pada tempat dan golongan pria bermulut manis. Bermulut manis dalam konotasi buruk, atau kasarnya penggoda.
Sayap - sayap patah dibagi menjadi sepuluh bagian. Adapun pendahuluan yang juga terdapat dalam sayap -sayap patah, merupakan sebuah ringkasan awal atau tepatnya monolog Gibran sendiri.
"Di sini segala harapan Gibran, ia yang hidup laksana seorang tawanan cinta di seberang laut, dikebumikan. Dengan serta merta dia kehilangan kegembiraannya, menampakkan air mata dan melupakan senyumnya."
Pada bagian awal, Gibran dengan tenang dan sesekali garang memperkenalkan diri dan masamudanya. Sebagaimana ciri khas penyair profetik, Gibran mampu menuliskan segala pikirannya ke dalam untaian makna yang dalam namun sederhana. Di dalamnya, Gibran berkata tentang masamuda, kesunyian, air mata. Bisa jadi ini adalah pernyataan Gibran tentang pemaknaan cinta dan kasih sayang sebagai sesuatu yang spritual. Dan pada perjalanan spiritual dalam pawai kehidupan, dia menemukan hal yang lebih luhur, ketimbang cinta yang berujung pada ciuman dan hubungan badan. Jika baru pertamakali membaca karya tersebut, mungkin tuan akan mengira ini adalah catatan anti-klimaks. Tapi ternyata tidak. Itu barulah awal bagaimana Gibran akan menyeret kita kedalam arus perputaran, yang secara dalam dan brilian diceritakan pada bagian selanjutnya.
Pada bagian Duka Yang Bisu sampai Obor Putih, dengan alur yang datar namun kompleks, Gibran bercerita dengan mulus. Pada bagian ini juga minim dialog. Tapi sekali terjadi dialog antar tokoh, akan sangat panjang dan lugas. Justru disinilah, menurut saya, kekuatan mistik yang dipunyai Gibran dalam membangun cerita sangat kental. Dialog panjang tersebut membentuk cerita yang logis, dengan cara Gibran tentunya. Bisa tuan bayangkan bagaimana sebuah dialog yang dibangun secara alegoris, mengasyikan bukan? Menyegarkan ingatan kita pada film - film dengan latar belakang abad klasik. Dibantu latar belakang Lebanon yang indah, Gibran semakin ketat mengurung pembaca seakan benar - benar sedang menghirup udara Lebanon. Brilian.
Prahara sampai Di Depan Tahkta Kematian, adalah bagian pertarungan cerita. Pada bagian ini terucap kalimat "Sayap - sayap patah!" yang terkenal itu. Dengan nuansa sendu dan miris, Gibran meratapi cintanya yang diambil oleh ketamakan. Selma Karami-lah gadis itu, pujuaannya. Diambil oleh ketamakan seorang uskup. Bagian ini, Gibran menyoroti budaya timur yang lalim. Ketamakan dan kerakusan yang berteduh di bawah kekuasaan. Demi nafsu menguasai harta, uskup yang dikatakan Gibran berlindung di belakang salib emas, mengambil Selma Karami menjadi istri kemenakannya. Satu cara yang licik dan berlangsung berabad-abad lamanya.
Di sini juga, Gibran mengkritik budaya timur, yang memperlakukan wanita layaknya barang dagangan. Tak ada hak bagi wanita untuk memilih kecuali dipilihkan, termasuk kawin. Dan ketika pudar kecantikannya, maka hanya menjadi barang rongsokan yang tiada berguna. Begitu juga dengan perihal keturunan. Setiap wanita wajib hamil dan melahirkan, karena orang timur menganggap keturunan adalah pewaris segalanya, harta, kekuasaan dan segala ketamakan. Jika wanita mandul tiada beranak, maka semakin hina-lah wanita, ditempatkan di gudang layaknya perabotan yang sudah usang, siap dibakar.
Antara Yesus dan Isytar sampai Sang Juru Selamat, merupakan bagian akhir cerita. Meskipun pada akhirnya Gibran dan Selma Karami harus terpisahkan oleh ketamakan, tapi mereka sesekali bertemu di sebuah kuil. Disinilah patung Yesus yang disalib, juga patung Isytar sang dewi kecantikan, menjadi saksi pertemuan mereka. Selma Karami kemudian berlutut pada patung Yesus, seakan sudah mencium akhir hayatnya. Pergolakan batin, mempertanyakan kepada Tuhan, mengapa nasib manusia yang suci bisa begini jadinya. Sebuah renungan filosofis yang dalam dihadirkan Gibran pada bagian ini. Hingga pada akhirnya Selma Karami mati bersama bayi yang baru dilahirkannya. Lagi-lagi secara mendalam, Gibran menghadirkan guratan kecil seputar kematian.
"Dia yang tidak memberontak melawan penindasan, berarti dia sendiri melakukan ketidakadilan. Aku mencintaimu Selma, dan engkau mencintaiku pula."
Dan pada kalimat akhir, sekaligus penutup, Gibran berkata pada penggali kubur :
"Di tempat ini pula, engkau telah mengubur hatiku."
Sebuah perjalanan dan lika - liku yang panjang dari seorang anak muda, Gibran. Bukan hanya menceritakan kisah tragis petualangan cintanya. Tapi sebuah kejadian kemanusiaan yang berlaku sejak abad hidupnya, bahkan sampai sekarang makin menggila. Dan apakah kita tetap memandang sang maestro Lebanon hanya sebagai pencerita cinta murni?

Oleh : Oleh: Agung Poku
Sumber : © KOMPAS.com

1 komentar:

  1. Lir ilir, lir ilir, tanduré wus sumilir
    tak ijo royo-royo tak sengguh temantèn anyar
    Cah angon, cah angon, pènèkna blimbing kuwi
    Lunyu lunyu yo pènèken kanggo mbasuh dodotiro
    dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
    Dondomana j'rumatana kanggo séba mengko soré
    mumpung padhang rembulané, mumpung jembar kalangané.
    yo surako surak hiyo.

    BalasHapus